Tirai jendela selalu tertutup, seolah matahari pun tak diizinkan melihat apa yang terjadi di dalamnya.
Pak Aruna menatap berkas-berkas di mejanya. Anggaran pendidikan, bantuan sosial, proyek desa wisata — semuanya tersusun rapi dalam map warna pastel. Tapi ia tahu, di antara angka-angka itu, selalu ada ruang kosong yang tak bisa dijelaskan dengan akal sehat: ruang di mana moral dan kepentingan saling bertukar tempat.
Ia dulu guru — sebelum jabatan datang seperti hadiah yang tak diminta.
Kini, setiap ucapan orang di sekitarnya beraroma kepatuhan.
Setiap senyum mengandung makna lain.
Ia rindu masa ketika “menyapa” berarti tulus, bukan strategi.
Suatu sore, seorang perempuan datang ke kantornya. Namanya Sinta. Wajahnya muda, tapi matanya tua — terlalu tua untuk usia dua puluh. Ia membawa map lamaran kerja, tapi suaranya bergetar bukan karena gugup, melainkan karena lapar — lapar akan kesempatan.
“Pak, saya hanya ingin bekerja… apa saja.”
Nada suaranya jujur, nyaris menyinggung nurani yang sudah lama tertidur di dada Aruna.
Ia mengangguk, menyuruhnya duduk.
Dari balik tirai, cahaya senja menembus tipis, seperti luka yang menolak sembuh.
Percakapan mereka sederhana: tentang pekerjaan, tentang hidup, tentang janji pemerintah yang selalu tertunda.
Namun setiap kalimat dari Sinta terdengar seperti cermin: memantulkan wajah rakyat yang ia janjikan untuk sejahtera — tapi justru semakin terpuruk.
Hari-hari berikutnya, Sinta sering datang. Kadang mengantar laporan, kadang hanya duduk diam di pojok ruangan sambil mengetik sesuatu di ponselnya.
Aruna tak berani menatap terlalu lama. Ia tahu batas, tapi batas itu semakin kabur ketika kesepian menjadi sahabat paling setia di usia setengah baya.
Suatu malam, sebuah pesan masuk di ponselnya.
Wajah Sinta di layar — samar, seperti mimpi.
“Terima kasih, Pak, sudah membantu,” tulisnya.
Aruna membalas: “Jangan berterima kasih. Saya hanya melakukan tugas.”
Namun jari-jarinya bergetar ketika menulisnya.
Ia mulai sering terjaga sampai larut.
Membuka pesan lama, membaca ulang percakapan pendek yang tak bermakna tapi terasa hangat.
Di luar, istrinya sudah lama tertidur — bersama keheningan yang menua.
Desas-desus mulai beredar seperti kabar angin.
Sinta dikabarkan sering terlihat di mobil dinas.
Orang-orang tak berani menuduh, tapi mereka pandai membaca simbol.
Di warung kopi dekat kantor, nama Aruna mulai disebut dengan nada berbisik, seperti doa yang berubah jadi gosip.
Aruna pura-pura tidak peduli.
Ia tetap berpidato di depan publik: tentang moral, etika, dan pembangunan manusia seutuhnya.
Setiap kata terdengar sempurna — hanya saja, suaranya sendiri tak lagi percaya pada apa yang diucapkannya.
Suatu hari, datang seorang wartawan muda, laki-laki kurus dengan tatapan tajam.
Ia menanyakan tentang program “Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga”.
Program itu dulu digagas oleh Aruna — tapi kini menjadi topik hangat, sebab sebagian dana lenyap entah ke mana.
Di balik berita itu, terselip kisah perempuan-perempuan desa yang “dijadikan simbol kemajuan”, tapi diam-diam dimanfaatkan oleh pejabat untuk kepentingan pribadi.
Aruna menatap wartawan itu lama.
Ia tahu, kebenaran selalu mencari jalannya sendiri, sekalipun harus merangkak di lumpur.
Malam itu, ia kembali ke ruang kerjanya sendirian.
Di luar hujan turun perlahan, menetes di jendela seperti air mata yang enggan jatuh.
Ia menyalakan lilin — karena listrik mati.
Cahaya kecil itu menari di dinding, memantulkan bayangan yang tampak lebih jujur dari dirinya sendiri.
Ia membuka ponsel, melihat pesan dari Sinta:
“Pak, saya hanya ingin keluar dari semua ini. Tapi semuanya sudah terekam. Mereka bilang, kalau saya buka suara, hidup saya selesai.”
Aruna terdiam.
Ia tahu siapa “mereka” itu. Ia juga tahu, sebagian dari kesalahan itu miliknya.
Ia ingin menjawab, tapi tak tahu dengan kata apa.
Lilin di meja bergetar, apinya hampir padam.
Dari jendela, ia melihat dua sosok lewat — sepasang anak muda, tertawa di bawah payung.
Tawa itu seperti pengingat bahwa dunia di luar masih bisa polos, setidaknya untuk sesaat.
Sementara ia, seorang pejabat dengan gelar dan jabatan, justru terpenjara dalam kebebasannya sendiri.
Beberapa hari kemudian, berita itu pecah.
Video pendek beredar: suara perempuan, samar, disertai wajah yang dikaburkan.
Media menyebutnya “skandal moral pejabat X”.
Tak ada nama disebut, tapi semua tahu siapa yang dimaksud.
Di rumahnya, istrinya menangis dalam diam.
Anaknya menolak menatap wajahnya.
Dan Aruna duduk di ruang tamu, memandangi televisi yang menyiarkan dirinya sendiri.
Ironi paling pahit: ia akhirnya dikenal luas, tapi bukan karena kerja kerasnya — melainkan karena dosa yang dulu ia anggap sepele.
Malamnya, ia kembali ke kantor untuk terakhir kali.
Ia membawa korek api dan sebatang lilin.
Dinyalakannya lilin itu, seperti dulu, ketika listrik mati.
Ia menatap nyala kecil itu lama — seakan mencari wajah Tuhan di sana.
“Aku ingin bertobat,” bisiknya, “tapi kepada siapa? Semua orang sudah tahu, dan Tuhan mungkin sudah lelah mendengarkan pejabat-pejabat yang bertobat setiap kali tertangkap.”
Lalu ia meniup lilin itu.
Kegelapan memenuhi ruangan, tapi anehnya, dadanya terasa ringan.
Mungkin, untuk pertama kalinya, ia tak lagi bersembunyi.
Pagi berikutnya, di meja kerjanya, ditemukan secarik kertas bertuliskan:
“Kekuasaan adalah lilin.
Bila dijaga, ia memberi terang.
Tapi bila dipeluk terlalu dekat, ia membakar tangan sendiri.”
Tak ada yang tahu ke mana Pak Aruna pergi.
Namun beberapa minggu kemudian, di pasar kecil pinggir kota, seseorang melihat seorang pria tua membantu anak-anak menyeberang jalan.
Ia tak memakai jas, tak membawa ponsel mahal.
Hanya senyum tipis dan langkah ringan — seperti orang yang akhirnya pulang ke dirinya sendiri.
Dan di rumah-rumah warga, lilin kecil kembali menyala — bukan untuk menerangi dosa, tapi untuk mengingat bahwa setiap tirai yang tertutup suatu saat harus dibuka.
Posting Komentar
Posting Komentar