Layar itu menyala setiap pagi, bahkan sebelum matahari sempat menyapa jendela ruang guru.
Di sanalah aku menatap masa depan—bukan lagi lewat buku pelajaran, tetapi lewat cahaya yang memancar dari gawai kecil di tangan anak-anak.
Aku seorang guru di era digital.
Zaman di mana pengetahuan bisa dicari dalam sedetik, tetapi kebijaksanaan sering tertinggal jauh di belakang.
Zaman di mana sinar biru dari layar lebih akrab di mata mereka daripada sinar mentari pagi yang menembus kaca kelas.
Setiap hari aku berhadapan dengan murid-murid yang datang dari dunia yang berbeda.
Ada yang datang dengan seragam rapi dan ponsel mahal, menatap dunia seolah segalanya bisa dibeli dengan satu klik.
Ada pula yang datang dengan sepatu bolong dan gawai pinjaman, yang sinyalnya kadang hanya muncul di ujung lapangan sekolah.
Namun di mataku, mereka sama—tunas kecil yang sedang belajar tumbuh di tanah yang tak selalu subur.
Tantanganku bukan hanya pada mereka, tapi juga pada dunia yang terus berubah.
Ketika kurencanakan pembelajaran dengan papan tulis dan spidol, mereka sudah sibuk mencari video tutorial.
Ketika kuberikan nasihat dengan suara lembut, mereka menunduk menatap layar, mencari jawaban dari mesin yang tak punya hati.
“Bu, ChatGPT lebih cepat menjawab daripada Ibu,” ujar seorang murid sambil tersenyum malu.
Aku hanya tersenyum kembali.
Dalam hati aku tahu, aku bukan sedang bersaing dengan mesin.
Aku sedang mengajarkan mereka bagaimana menjadi manusia di antara mesin.
Namun tantangan yang paling berat bukan datang dari murid-muridku.
Kadang, ia datang dari ruang guru sendiri.
Rekan-rekan sejawatku terbelah oleh pandangan yang berbeda.
Ada yang berkata, “Mengajar kini harus serba digital, Bu. Kalau tidak, kita akan tertinggal.”
Ada pula yang berkata, “Teknologi merusak nilai-nilai belajar sejati.”
Aku hanya diam. Karena aku tahu, keduanya benar, sekaligus belum sepenuhnya benar.
Aku mencoba berdiri di antara dua dunia itu—menjembatani yang lama dan yang baru.
Mengajari anak-anak agar tidak hanya pandai mencari informasi,
tetapi juga bijak memilah mana yang benar, mana yang baik, dan mana yang indah.
Suatu sore, aku dipanggil kepala sekolah.
Nada suaranya berat. “Bu Rani, ada kasus serius. Salah satu murid Ibu, Nita, videonya tersebar di media sosial.”
Darahku serasa berhenti mengalir.
“Video apa maksudnya, Pak?” tanyaku dengan suara yang nyaris tak keluar.
“Video pribadi… hasil pergaulan yang kebablasan. Katanya berawal dari tantangan di grup TikTok teman-temannya.”
Aku terdiam lama. Rasanya seperti ditampar kenyataan.
Nita, gadis cerdas yang selalu duduk di depan kelas, kini jadi bahan gunjingan satu sekolah.
Aku menatap layar ponsel kepala sekolah—sinar biru yang dulu tampak netral kini terasa seperti racun.
Hari itu aku pulang dengan dada sesak.
Aku menatap ruang kelas yang kosong, kursi-kursi yang ditinggalkan tawa mereka.
Aku bertanya dalam hati: di mana aku salah?
Apakah aku terlalu sibuk mengejar target kurikulum hingga lupa menjaga hati mereka?
Keesokan harinya, Nita tidak masuk sekolah.
Murid-murid lain berbisik-bisik, beberapa menertawakan, beberapa iba, tapi tak ada yang berani bicara jujur.
Aku berdiri di depan kelas, mencoba menahan air mata.
“Anak-anak,” kataku pelan, “kadang dunia digital memberi kita panggung, tapi lupa memberi batas. Kalian boleh bersinar di sana, tapi jangan sampai cahaya itu membakar diri sendiri.”
Hening.
Beberapa murid menunduk, ada yang menatapku dengan mata berkaca.
Mungkin di antara mereka, ada yang hampir terjerumus hal yang sama.
Malamnya aku menerima pesan dari Nita.
“Bu, saya malu. Semua orang menilai saya. Saya ingin berhenti sekolah.”
Aku menatap pesan itu lama sekali.
Lalu kubalas:
“Nak, setiap manusia bisa jatuh. Tapi yang membedakan orang kuat dan lemah adalah: siapa yang mau bangkit. Sekolah ini bukan tempat untuk orang sempurna, tapi tempat untuk orang yang mau belajar memperbaiki diri.”
Beberapa hari kemudian, Nita kembali ke sekolah.
Ia tak banyak bicara, tapi matanya kini tak lagi kosong.
Aku tahu, mungkin ia belum sembuh, tapi ia sudah berani melangkah.
Dari kejadian itu aku semakin sadar, betapa kuatnya pengaruh dunia digital terhadap jiwa remaja.
Mereka bisa mengakses dunia, tapi dunia juga bisa mengakses mereka—tanpa izin, tanpa batas.
Batas antara nyata dan maya makin kabur, antara cinta dan eksploitasi makin tipis.
Tugas guru kini bukan hanya mengajar matematika atau bahasa, tapi menjaga mereka dari kehampaan nilai.
Kadang aku merasa sendirian.
Rekan guru lain ada yang berkata, “Sudahlah, Bu Rani. Itu risiko zaman. Kita tak bisa melawan arus.”
Tapi aku tidak percaya pada kalimat itu.
Kalau guru menyerah, siapa lagi yang akan menjadi jangkar moral di tengah badai digital?
Aku mulai mengubah caraku mengajar.
Setiap minggu kubuat sesi “Refleksi Digital”—di mana murid-muridku menulis kisah atau perasaan mereka tentang dunia maya.
Ada yang menulis tentang kecanduan gim, ada yang curhat tentang komentar jahat di media sosial, ada pula yang menulis tentang kehilangan teman karena salah unggah foto.
Dari tulisan-tulisan itu aku belajar satu hal: mereka sebenarnya tidak butuh teknologi yang lebih canggih, tapi telinga yang mau mendengar.
Dan mungkin, hatiku masih cukup luas untuk itu.
Pernah suatu hari, seorang murid dari keluarga sederhana mendekat padaku usai pelajaran.
“Bu, saya tidak punya kuota buat belajar daring... tapi saya tetap mau belajar.”
Aku tersenyum, lalu memberinya buku tulis bekas pelatihan guru yang masih kosong separuh.
“Tidak apa-apa, Nak. Tulis saja dengan tanganmu. Kadang, ilmu yang ditulis dengan tangan lebih melekat di hati.”
Hari demi hari berlalu, dan aku mulai menyadari: mengajar di era digital bukan sekadar menguasai teknologi.
Ia adalah perjuangan menjaga kemanusiaan agar tidak tenggelam di balik layar.
Aku tidak ingin murid-muridku hanya pandai membuat konten,
aku ingin mereka mampu menulis kisah hidup yang berarti.
Kini setiap pagi, ketika cahaya layar kembali menyala, aku tidak lagi merasa asing.
Sebab aku tahu, di balik sorot biru itu,
ada mata-mata muda yang haus bimbingan,
dan aku—seorang guru di era cahaya digital—
masih punya sesuatu yang tak bisa digantikan oleh mesin:
hati yang mencintai, dan harapan yang tak pernah padam.
Posting Komentar
Posting Komentar