RUMAH TANPA SUARA

Posting Komentar

 



Oleh: MDB

 

Hujan sore itu jatuh perlahan, menetes di jendela ruang makan yang setengah terbuka. Dina menatap jam dinding—pukul tujuh malam. Nasi sudah dingin, lauk mulai kering, dan lampu dapur bergetar karena angin.
Di meja makan, hanya ada dua piring kosong: satu untuknya, satu untuk suaminya, Ardi, yang entah di mana.
Teleponnya sudah ia kirim sejak sore:
“Ama, pulang makan ya. Aku udah masak sayur asem kesukaanmu.”
Tak dibalas. Seperti biasa.
Lalu jam menunjukkan pukul delapan, sembilan, sepuluh. Barulah pintu berderit. Ardi masuk dengan langkah santai, jaketnya basah, rambutnya acak-acakan, tapi senyum di wajahnya entah untuk siapa.
“Lho, belum tidur?” suaranya ringan, seolah tak ada yang perlu dijelaskan.
Dina menatapnya pelan. “Sudah jam sepuluh, Ama.”
“Ya, tadi ada rapat, terus nongkrong sebentar.”
“Rapat atau kopi sore sama teman kantor perempuan itu?”
Ardi mendengus. “Jangan mulai lagi, Din. Capek, tahu!”
Ia melempar jaket ke kursi dan menyalakan ponselnya. Dalam sekejap, wajahnya berubah riang. Jemarinya lincah menari di layar, entah mengetik untuk siapa.
Sementara Dina hanya duduk diam di meja makan, menatap punggung suaminya—punggung yang dulu ia sandari ketika dunia terasa berat, kini hanya jadi dinding dingin yang memantulkan sunyi.
---
Hari-hari berikutnya berjalan seperti kaset yang terulang.
Ardi pergi pagi, pulang malam. Tak ada kabar, tak ada sapa.
Di rumah, Dina menjalani dua peran sekaligus: ibu dan ayah.
Ia mengantar anak mereka, Nala, ke sekolah. Menyiapkan bekal, lalu berangkat ke kantor dengan rambut disanggul seadanya. Sore hari, ia menjemput Nala, memasak, menyetrika, lalu kembali bekerja di laptop hingga larut.
Sementara Ardi duduk di sofa, tertawa di depan layar ponsel, menonton video pendek, kadang ikut live streaming dengan wajah perempuan muda yang Dina tak kenal.
Pernah suatu malam, Dina mendekat dan berkata pelan,
“Ama, kamu tidak mau bantu aku sedikit? Nala belum tidur, cucian belum diangkat.”
Tanpa menoleh, Ardi menjawab,
“Din, kamu kan di rumah lebih sering, wajar dong urusannya lebih banyak. Lagian aku kerja cari uang juga buat kamu dan anakmu.”
Dina diam. Tapi dalam diam itu ada serpihan luka yang tajam.
Ia ingin berkata bahwa ia juga bekerja, juga lelah, juga manusia.
Tapi bibirnya kelu. Karena setiap kali ia mencoba bicara, Ardi selalu lebih dulu marah.
---
Malam itu, ketika semua sudah tidur, Dina duduk di teras rumah. Hujan baru berhenti. Bau tanah basah mengingatkannya pada awal pernikahan mereka dulu.
Ia masih ingat malam pertama mereka menempati rumah ini. Ardi menggenggam tangannya sambil berkata,
“Aku janji, rumah ini akan selalu penuh tawa, Din. Tidak akan ada yang kesepian di dalamnya.”
Tawa? Kini rumah itu lebih sering diisi suara notifikasi ponsel daripada suara manusia.
Kesepian? Ia bahkan sudah jadi bagian dari udara di rumah itu.
---
Suatu pagi, pertengkaran kecil berubah jadi ledakan besar.
Hanya karena Dina menegur Nala yang menonton YouTube terlalu lama.
Ardi memotong dengan suara keras,
“Sudah, Din! Anak itu cuma mau hiburan. Jangan dikekang terus!”
“Ama, aku bukan mau melarang, tapi—”
“Ah, kamu tuh selalu merasa paling benar. Semua diatur, semua disalahin!”
“Ama, aku cuma minta kamu lihat. Anak kita butuh perhatian, bukan cuma hiburan dari layar!”
Ardi berdiri, wajahnya merah. “Kamu tuh omong kayak aku tidak peduli sama anak! Aku kerja siang malam buat kalian, tahu tidak!”
“Kerja atau lari dari rumah ini, Ama?”
Suara itu keluar begitu saja.
Ardi terdiam sepersekian detik, lalu membanting sendok ke meja.
“Kalau tidak betah, keluar saja! Aku tidak maksa kamu di sini!”
Nala menangis di pojok dapur. Dina menatap anaknya dengan air mata yang nyaris jatuh.
Ardi pergi, membanting pintu.
---
Hari-hari setelah itu, suasana rumah berubah seperti hutan sunyi. Tak ada percakapan selain urusan praktis: “Mau makan apa?” atau “Kunci motor di mana?”
Di balik semua itu, Ardi semakin jarang pulang. Dina tahu ia berbohong. Ia mencium parfum asing di bajunya, menemukan pesan singkat di ponsel yang terbuka sesaat:
“Kapan ketemu lagi, Ama? Aku kangen obrolan kita.”
Dina membaca tanpa air mata. Entah mengapa, perasaannya mati rasa.
Ia hanya menutup ponsel itu perlahan, lalu mengembalikannya ke meja.
---
Suatu malam, listrik padam. Rumah gelap.
Dina menyalakan lilin di meja makan. Nala ketakutan, memeluk ibunya erat-erat.
“Tenang ya, Nak. Mama di sini.”
“Papa mana, Ma?”
“Papa lagi di luar, Sayang.”
“Kenapa Papa nggak pernah di rumah?”
Pertanyaan itu menampar hatinya. Tapi Dina tersenyum, menatap mata anaknya.
“Kadang orang dewasa lupa pulang, Nak. Tapi kamu jangan lupa ya, rumah ini tetap tempat kita.”
---
Beberapa hari kemudian, Ardi pulang tanpa kabar. Ia terlihat kusut, tapi tetap dengan sikap sombongnya.
“Aku capek, jangan banyak tanya,” katanya sebelum Dina sempat bicara.
Namun malam itu, Dina tak menahan diri lagi.
“Ama, aku sudah cukup diam. Aku sudah cukup sabar. Aku cuma mau tahu… apa yang sebenarnya kau cari di luar sana?”
Ardi menatapnya tajam.
“Dina, kamu tuh selalu drama. Aku cuma butuh ruang.”
“Ruang? Aku sudah kasih kamu ruang, waktu, kesempatan. Tapi kamu isi semuanya dengan kebohongan.”
“Jangan tuduh aku!”
“Aku tidak nuduh. Aku cuma mau kamu sadar… aku istrimu, bukan musuhmu.”
Ardi terdiam sejenak, lalu tertawa sinis.
“Kalau kamu tidak tahan, kenapa tidak pergi saja? Aku bisa hidup tanpa kamu.”
Dina menatapnya lama.
Lama sekali, hingga Ardi merasa risih.
Lalu dengan suara pelan tapi tegas, Dina menjawab:
“Aku juga bisa hidup tanpa kamu, Ama. Tapi aku tidak mau lari dari janji yang dulu aku buat—bukan janji padamu, tapi pada diriku sendiri: untuk tetap berbuat baik meski disakiti.”
---
Waktu berjalan. Ardi makin sering absen, tapi Dina tidak lagi menunggunya.
Ia mulai mengikuti kursus daring, menulis, dan aktif di komunitas literasi.
Ia menemukan dunia baru yang membuatnya merasa hidup lagi.
Ia tak lagi marah. Ia tak lagi mencari.
Ia hanya belajar mencintai dirinya—hal yang dulu selalu ia lupakan.
Setiap kali Ardi pulang, rumah tetap bersih, anak tetap ceria, tapi suasananya berbeda.
Dina sudah tidak lagi menegur, tidak lagi memohon.
Ia hanya bicara seperlunya, dengan tenang dan dewasa.
Dan entah kenapa, justru ketenangan itu yang perlahan mengganggu Ardi.
---
Suatu malam, Ardi membuka pintu kamar dan berkata dengan nada bingung,
“Din… kenapa sekarang kamu kayak tidak peduli sama aku?”
Dina menatapnya lembut. “Aku peduli, Ama. Tapi aku berhenti memaksa.”
“Memaksa apa?”
“Memaksa kamu jadi suami yang aku bayangkan. Aku sekarang cuma mau jadi diriku sendiri, bukan bayangan dari perempuan yang kamu abaikan.”
Ardi tak menjawab. Wajahnya bingung, malu, tapi gengsi masih menahannya untuk minta maaf.
Dina tersenyum kecil.
“Rumah ini dulu penuh suara, Ama. Sekarang sunyi. Tapi aku sadar, kadang kesunyian itu perlu, biar kita bisa dengar suara hati sendiri.”
---
Pagi berikutnya, Dina membuat sarapan. Ardi duduk di meja makan, memandangi istrinya yang kini terlihat lebih tenang, lebih hidup, meski tanpa banyak bicara.
Ia menyadari sesuatu yang terlambat: perempuan yang selama ini ia abaikan ternyata tetap bertahan bukan karena lemah, tapi karena kuat.
Dina menatap Ardi dan berkata lembut,
“Ama, aku masih di sini. Tapi jangan salah, bukan karena aku tidak bisa pergi. Aku cuma memilih bertahan sampai aku yakin hatiku benar-benar damai.”
Ardi menunduk. Tak ada kata.
Ia menyesap kopinya, tapi rasanya pahit.
Di luar, matahari menembus tirai. Rumah itu tetap sama—dengan meja makan, piring, dan tawa kecil anak mereka.
Tapi di dalam hati Dina, sesuatu sudah berubah:
Ia tak lagi menunggu cinta yang dulu.
Ia belajar menumbuhkan cinta baru—untuk dirinya sendiri.
---
“Rumah Tanpa Suara” adalah potret kehidupan banyak perempuan yang bertahan di tengah badai rumah tangga. Tentang seorang istri yang dicintai setengah hati, tapi belajar menemukan kekuatan dari keheningan.
Ia tidak pergi, bukan karena takut kehilangan suami, tapi karena telah menemukan dirinya sendiri.
Kadang cinta memang tidak berakhir dengan perpisahan—tetapi dengan kesadaran.
Karya Osin Bahy
saya osin bahy
Terbaru Lebih lama

Related Posts

There is no other posts in this category.

Posting Komentar